Pertanyaan:
Saya merasa hak saya dilanggar oleh seorang kawan saya dan saya mengalami kerugian yangt tidak sedikit, karena ia tidak melakukan kewajiban sebagaimana yang telah ia perjanjikan. Saya adalah orang yang ingin mandiri, dan ingin melakukan segala hal sendiri. Termasuk dalam permasalahan ini, saya ingin menyelesaikannya seorang diri, untuk dapat menuntut kawan saya agar mau memenuhi kewajibannya kepada saya, apa yang harus saya lakukan?
Intisari:
Alangkah baiknya permasalahan tersebut diselesaikan secara kekeluargaan, atau dimusyawarahkan. Tetapi jika hal tersebut gagal, dan kawan saudara penanya tidak memenuhi kewajibannya, maka langkah selanjutnya adalah melalui jalur hukum. Untuk langkah mengajukan gugatan secara mandiri, bisa disimak penjelasan di bawah ini.
Penjelasan:
Pertama-tama, seperti yang kami sarankan sebelumnya, alangkah baiknya setiap permasalahan diselesaikan dengan jalan musyawarah. Pertanyaan selanjutnya adalah jika jalur musyawarah gagal, maka apa yang harus dilakukan?
Jika jalur musyawarah gagal dilakukan maka saudara bisa melayangkan somasi atau peringatan terlebih dahulu, kemudian jika langkah melayangkan somasi gagal, maka bisa menempuh jalur terakhir, yaitu jalur hukum, dengan mengirimkan gugatan ke Pengadilan Negeri tempat saudara tinggal. Perihal ingin mengajukan gugatan secara mandiri, maka saudara bisa datang ke Pengadilan tersebut saja, karena di Pengadilan pasti memiliki sebuah layanan yang diberi nama POSBAKUM atau Pos Bantuan Hukum. Nah di layanan tersebut saudara bisa membuat surat gugatan secara mandiri, dan layanan tersebut tidak dipungut biaya, atau gratis.
Tetapi jika saudara tetap ingin membuat surat gugatan secara benar-benar mandiri, atau tidak berkenan menggunakan layanan POSBAKUM di Pengadilan, maka saudara bisa menyimak langkah-langkah dalam membuat surat gugatan di bawah ini.
Dalam membuat surat gugatan ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu syarat formil dan syarat materiil.
Syarat formilnya adalah:
- Gugatan harus jelas, baik mengenai subjek, objek, posita maupun petitumnya. Karena surat gugatan yang tidak jelas (Obscurr libel) dinyatakan tidak di terima berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 616/K/Sip/1973, Tanggal 5 Juni 1975;
- Gugatan harus lengkap, baik mengenai subjek, objek, posita, maupun petitumnya. Yang dimaksud lengkap disini adalah harus memuat secara lengkap fakta hukum yang menjadi dasar gugatan, serta konsekuensi logis dari fakta tersebut terhadap permintaan-permintaan Penggugat. Hal ini di dasarkan pada Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, No. 195/K/Sip/1955 tanggal 28 November 1956;
- Gugatan harus sempurna, artinya selain memerhatikan kedua syarat diatas yaitu lengkap dan jelas, juga harus memerhatikan logika hukum yang dapat menimbulkan konsekuensi. Contoh, jika dalam posita Penggugat mendalilkan bahwa Tergugat ingkar janji, maka dalam petitum juga harus memuat pernyataan bahwa Tergugat telah ingkar janji.
Selanjutnya, mengenai syarat materiil surat gugatan, maka setidaknya surat gugatan harus berisi,
- Identitas lengkap dari Penggugat dan Tergugat;
- Uraian duduk perkaranya (Posita). Posita berisi tentang dalil-dalil yang menajdi dasar atau alasan hukum yang memadai, khususnya yang ada kaitannya dengan materi gugatan. Posita harus disusun dengan memerhatikan syarat-syarat berikut ini:
- Etika, artinya menggunakan gaya bahasa yang sopan, tidak menyerang kehormatan atau merendahkan pihak lain, khususnya Tergugat;
- Estetika, artinya menggunakan bahasa yang indah, sehingga mudah dibaca dan dipahami, serta tidak monoton;
- Bahasa baku, artinya tidak menggunakan kalimat yang berbelit-belit tetapi cukup menggunakan kalimat yang sederhana, jelas, dan tegas;
- Memilih kata-kata yang tidak bermakna ganda, sehingga dapat menghindari perbedaan penafsiran antara Penggugat, Tergugat, dan Hakim;
- Konsisten dalam menggunakan istilah, artinya tidak menggunakan istilah yang berbeda-beda untuk satu hal tertentu;
- Sinkron, artinya tidak kontradiktif antara posita dan petitum;
- Menggunakan kalimat yang bermakna hubungan sebab akibat (kausal) artinya fakta hukum yang ditampilkan dalam kalimat awal, akan membawa akibat hukum yang diuraikan dalam kalimat berikutnya;
- Menggunakan posita dengan menggunakan kronologi peristiwa hukum, untuk memudahkan pemahaman yang runtut, guna meyakinkan hakim akan dasar hak yang sah bagi Penggugat, dengan memberi nomor urut untuk masing-masing alinea, serta memberi nomor halaman untuk setiap lembar kertas yang digunakan;
- Uraian apa yang diminta (Petitum). Petitum berisi tentang permintaan-permintaan yang diajukan oleh Penggugat kepada Hakim atau Pengadilan, berkaitan dengan berbagai dalil-dalil atau pertimbangan hukum yang dituliskan dalam posita. Oleh karena itu didalam petitum harus memerhatikan hal-hal sebagai berikut:
- Kesesuaian atau sinkronisasi dengan posita, artinya dalil-dalil atau alasan-alasan yang telah diuraikan dalam posita itulah yang menjadi dasar untuk mengajukan permintaan yang dituliskan dalam petitum;
- Tidak kontradiktif, artinya petitum tidak boleh kontradiktif dengan posita maupun dengan bagian petitum lainnya;
- Orang yang ditetapkan dalam petitum harus sebagai pihak yang berperkara;
- Petitum harus jelas dan tegas, artinya apa yang diminta harus jelas dan tegas, sehingga tidak menimbulkan kebingungan bagi hakim;
- Petitum tidak boleh bersifat negatif;
- Petitum harus runtut dan disusun sesuai dengan poin-poin posita, serta diberi nomor urut.
Tetapi lebih baik, bila surat gugatan yang dibuat lebih sempurna. Adapun kesempurnaan surat gugatan harus memenuhi beberapa syarat tambahan, yaitu:
- Kop (Jika ada);
- Nomor Surat (Jika ada);
- Lampiran (Jika ada);
- Titel atau hal gugatan;
- Tanggal gugatan;
- Alamat tujuan gugatan;
- Salam pembuka;
- Identitas (Penggugat & kuasanya-jika ada dan Tergugat & kuasanya-jika ada);
- Posita;
- Petitum;
Demikianlah yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat bagi saudara penanya. Kurang dan lebihnya kami mohon maaf serta kami ucapkan terimakasih.
Referensi
Achmad Fauzan dan Suhertanto, Teknik menyusun gugatan Perdata di Pengadilan Negeri, Bandung 2007
R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata, Tata Cara dan Proses Persidangan, Jakarta: Sinar Grafika, 2006
Budi Susilo, Prosedur Gugatan Cerai, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2007