Pertanyaan:
Ada seorang teman saya yang baru saja ditinggalkan oleh ayahnya. Dan ayahnya ini memiliki harta yang sangat banyak, yang artinya sepeninggal sang ayah otomatis harta kekayaannya akan di bagi menurut ilmu mawaris dan jatuh kepada ahli waris yang memang berhak. Tetapi tak lama setelah kematian ayahnya tersebut, kakak dari teman saya, yaitu anak tertua menunjukkan surat wasiat dari sang ayah dimana seluruh harta tidak akan dibagi, tetapi harta tersebut jatuh ke tangan sang ibu, dan akan dikelola secara bersama-sama. Pertanyaan saya, bagaimanakah hukum melihat hal ini? Apakah diperbolehkan berwasiat semacam ini?
Intisari:
Jika seorang Muslim, maka seyogyanya berpedoman pada ilmu fiqih mawaris atau tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam yakni dalam Buku II Pasal 195 Ayat (2). Dan apabila non-Muslim maka berpedoman pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yaitu sebuah wasiat tidak wajib dilaksanakan apabila tidak memenuhi syarat yang sudah di tentukan. Penjeleasan lebih lanjut bisa disimak pada penjelasan di bawah ini.
Penjelasan:
Pertama-tama, perlu ditegaskan bahwa permasalahan tentang harta adalah permasalahan yang paling sensitif, dan kemungkinan besar akan menimbulkan perpecahan. Sebagaimana firman Allah bahwa salah satu cobaan yang diberikanNya berupa harta yang melimpah. Kemudian juga perlu kami tegaskan bahwa penjelasan yang kami berikan, adalah pendapat hukum dari beberapa referensi yang kami baca, dalam sebuah pendapat bisa benar, tetapi juga bisa salah. Jadi pendapat ini mungkin kurang sesuai bagi sebagian orang, tetapi kami berusaha menjawab permasalahan saudara.
Kemudian, yang perlu kita ketahui adalah definisi dari wasiat itu sendiri, bisa kita lihat dalam Pasal 875 KUH Perdata bahwa wasiat atau bisa disebut juga dengan testamen adalah sebuah akta berisi pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya terjadi setelah ia meninggal, dan dapat dicabut kembali olehnya. Kompilasi Hukum Islam juga mendefinisikan wasiat, yaitu terdapat dalam Pasal 171 huruf (f) yaitu, Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
Disini ada satu poin yang tidak bisa ditinggalkan, yaitu objek wasiat adalah harta dari orang yang sudah meninggal atau harta hanya bisa menjadi milik yang diwasiatkan setelah si pewasiat meninggal dunia.
Kemudian macam-macam wasiat menurut hukum Perdata, ada 4 macam wasiat, yaitu:
Pertama, Wasiat pada umum sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 938 KUHPerdata, yaitu wasiat yang dibuat dihadapan 2 orang saksi.
Kedua, Wasiat Olographis sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 932 KUHPerdata, yaitu wasiat yang dibuat dihadapan dua orang saksi, dan surat wasiat tersebut seluruhnya ditulis oleh si pewasiat dan di tandatangani oleh pewasiat. Kemudian notaris menyimpannya dengan membuat akta penitipan, dan wasiat tersebut dapat ditrarik kembali oleh pewasiat.
Ketiga, Wasiat rahasia, sebagaimana yang terdapt dalam Pasal 940 KUHPerdata, hampir sama seperti wasiat olographis, perbedaannya adalah surat wasiat tersebut ditutup dan disegel, kemudian surat wasiat tersebut akan diserahkan kepada notaris dihadapan empat orang saksi, kemudian sang notaris harus membuat penjelasan bahwa didalam segel tersebut terdapat surat wasiat dari pewasiat.
Keempat, Kemudian yang terakhir adalah Wasiat darurat sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 946, 947, dan 948 KUH Perdata, wasiat ini dibuat oleh tentara perang, atau orang yang sedang berlayar di laut, atau oprang yang ebrada di tempat yang dilarang berhubungan dengan dunia luar (karantina). Yaitu mereka harus membuat wasiat dihadapan orang yang bertanggung jawab di daerah itu, atau atasan mereka.
Selanjutnya, perihal wasiat, ada dua dimensi yang perlu kita perhatikan. Yaitu, bagaimana kondisi religi keluarga pewaris, yaitu seorang Muslim atau non-Muslim.
Jika seorang muslim, maka kita harus berpedoman pada Kompilasi Hukum Islam dimana secara tegas telah disebutkan dalam Pasal 195 yang berbunyi:
Dalam pasal tersebut dapat kita tarik beberapa kesimpulan, yang pertama, yaitu wasiat maksimal harus memuat sepertiga dari harta yang ditinggalkan oleh pewasiat maupun pewaris. Kemudian karena permasalahan waris menurut agama Islam adalah salah satu permasalahan yang berkaitan dengan muamalah, maka semua tindakan harus berdasarkan pada persetujuan semua pihak, maka dalam pasal tersebut terdapat kalimat yang menyatakan bahwa boleh wasiat mencakup lebih dari sepertiga harta yang ditinggalkan, tetapi harus atas persetujuan seluruh ahli waris.
Kedua, yang bisa kita pahami bersama dari Pasal tersebut adalah wasiat kepada ahli waris bisa dilakukan jika atas persetujuan seluruh ahli waris yang lain. Karena hal tersebut mengandung sebuah ketimpangan, di mana salah satu pihak mendapatkan dua bagian, yaitu yang pertama adalah bagian sebagai ahli waris, dan yang kedua adalah bagian sebagai orang yang menerima wasiat.
Dalam KHI pun, wasiat dapat dibatalkan, sebagaimana yang terdapat dalam pasal 197, yang berbunyi:
(1). Wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dihukum karena:
a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat kepada pewasiat;
b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan sesuatu kejahatan yang diancam hukuman lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat;
c. Dipersalahkan karena kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut atau mengubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat;
d. Dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat wasiat dari pewasiat.
(2). Wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu:
a. Tidak mengetahui wasiat tersebut sampai meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat;
b. Mengetahui adanya wasiat tgersebut, tapi ia menolak untuk menerimanya;
c. Mengetahui adanya wasiat itu, tetapi tidak pernah menyatakan menerima atau menolak sampai ia meninggal sebelum meninggalnya pewasiat.
(3). Wasiat menjadi batal apabila yang diwasiatkan musnah.
Dari pemaparan Pasal tersebut bisa diketahui bahwa wasiat bersifat bisa dibatalkan dan bisa ditarik oleh pewasiat (Pasal 199).
Kemudian perihal wasiat menurut hukum perdata dapat kita lihat dalm Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) Pasal 930 – Pasal 952, penulis tidak menemukan batasan terhadap besarnya harta yang bisa dijadikan sebagai wasiat, tetapi dalam Pasal 953 berbunyi:
Formalitas-formalitas yang telah ditetapkan untuk berbagi surat wasiat itu menurut ketentuan-ketentuan dalam bagian ini, harus diperhatikan, dengan ancaman kebatalan.
Artinya dalam Hukum Perdata ada beberapa syarat yang harus dipenuhi jika ingin mewasiatkan hartanya. Karena jika hal tersebut tidak dipenuhi maka wasiat tersebut menjadi tidak sah. Demikianlah yang dapat kami sampaikan, semoga yang sedikit ini menambah kebermanfaatan bagi kita semua, kurang lebihnya mohon maaf dan terima kasih.
Referensi
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kompilasi Hukum Islam